Oleh : M Sofwan Jauhari
Di penghujung bulan Ramadhan 1443 H, ketika sebagian umat Islam fokus beribadah menjalankan I’tikaf di masjid-masjid selama 10 malam terakhir di bulan Ramadhan berharap keutamaan Lailatul Qadar pada tahun 2022 ini, umat Islam dihebohkan dengan status facebook seorang profesor yang menjabat sebagai rektor di sebuah perguruan tinggi di Kalimantan. Tulisan yang dikatakan sebagai pendapat pribadi dari seorang profesor itu dinilai oleh banyak kalangan sebagai tulisan yang berbau SARA (Suku Agama Ras Aliran) atau rasis karena menilai hijab sebagai pakaian manusia gurun.
Tulisan yang dimuat dalam status facebook sang profesor ini kabarnya akan berbuntut di non aktifkannya pemilik tulisan dari sebagian jabatannya, karena dianggap rasis dan berbau SARA yang tidak layak dilakukan oleh seorang profesor.
Sebagai seorang dosen saya tau bagaimana sulitnya meraih gelar profesor, profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi seorang dosen. Ada 4 tingkatan jabatan fungsional dosen yaitu (1) Asisten Ahli, (2) Lektor, (3) Lektor Kepala dan (4) Profesor. Untuk meraih gelar profesor, seorang dosen harus memiliki 850 Angka Kredit atau kum. Sederhananya, apabila seorang dosen mengajar 12 SKS selama 1 semester, maka secara umum akan mendapatkan 12 Angka Kredit, dengan menulis artikel ilmiah dengan bahasa yang baik dan benar, menggunakan metode penulisan yang benar dan dipublikasikan di sebuah jurnal maka seorang dosen akan mendapatkan nilai sekitar 10-25 angka kredit, tergantung kualitas tulisan dan jurnalnya. Bisa dibayangkan untuk menjadi seorang profesor berapa lama seorang dosen harus mengajar dan berapa banyak harus menulis artikel ilmiah yang diterima oleh tim redaksi sebuah jurnal agar layak diterbitkan.
15 tahun lebih saya mengajar, untuk meraih pangkat Lektor Kepala dengan angka kredit 400 saya belum berhasil saat tulisan ini saya buat, karena itu saya sangat mengapresiasi seseorang yang bisa meraih gelar profesor. Orang yang dapat meraih gelar profesor menurut saya adalah orang yang pintar, ilmiah, tekun dan bahasanya selalu santun serta memiliki bobot keilmuan yang tinggi karena sudah terbiasa menulis dengan ketentuan yang ketat. Seorang profesor menurut saya adalah orang yang open mind karena sudah mengajar di perguruan tinggi puluhan tahun. Seorang profesor adalah orang santun karena dia adalah seorang guru besar, di mana kata guru bagi orang jawa artinya adalah orang yang digugu lan ditiru (didengar dan ditiru) ucapan serta tindakannya. Peribahasa Indonesia mengatakan guru kencing berdiri murid kencing berlari. Guru harus bertutur kata yang tidak menyinggung kelompok tertentu, apalagi seorang guru besar. Itulah yang saya pahami selama ini.
Jedeeer… ibarat bom meledak yang mengagetkan diri pribadi saya, ketika seorang profesor membuat tulisan -meskipun hanya status facebook pribadinya- yang berbau rasis menganggap hijab sebagai pakaian manusia gurun. Memangnya dia gak tau kalau hijab itu pakaian resmi wanita muslimah? memang dia tidak pernah melihat mahasiswi di perguruan tinggi Islam swasta maupun negeri? Memang dia tidak pernah datang ke kampus yang namanya IAIN atau UIN?
Semoga tidak ada dosen yang mengalami demotivasi untuk meraih gelar profesor yang menjadi tolok ukur akreditasi sebuah perguruan tinggi. Dan semoga tidak ada profesor yang meraih gelar dengan cara yang meragukan. Semoga masyarakat tidak ada lagi yang berakta : Cuma segitu ya ilmu seorang profesor ??????????????